Media Online Milik Gereja Kemah Injil KINGMI Papua

Selasa, 31 Agustus 2010

SERUAN GEREJA-GEREJA PAPUA

www. google.com
SERUAN GEREJA-GEREJA PAPUA
(Menyikapi Pemanggilan POLDA Papua terhadap Pdt. Socratez Sofyan Yoman, S.Th, MA)

Dalam semangat menjaga “Papua Tanah Damai” kami pimpinan Gereja-Gereja Papua berkumpul untuk menyikapi surat panggilan Polda terhadap Sofyan Yoman Ketua Sinode PGBP. Sebagai lembaga Gereja  kami mendesak (a) Polda dan Kodam  untuk menghentikan panggilan tersebut dan lebih berkonsentarasi  membangun kepercayaan di masyarakat  Papua yang punya persepsi yang negative terhadap kedua lembaga keamanan Negara itu di Tanah Papua. (b) Menarik pasukan militer dan Brimob/Polisi dari Puncak Jaya dan mengundang Tim Independen untuk mengadakan Penelitian di sana untuk mengecek kebenaran dari pernyataan  Yoman dan (c) bersama rakyat Papua mendesak pemerintah Provinsi Papua memulai kebijakan-kebijakan pembangunan yang berpihak kepada rakyat Papua dan (d) mendesak Jakarta untuk mengakomodir aspirasi rakyat Papua dengan membuka diri untuk berdialog. Berikut kami sampaikan beberapa pertimbangan kami.
Pertama, terlihat kesan bahwa Polda dan Kodam hanya membaca pernyataan Yoman secara sepotong  sepotong dan sebagai pernyataan pribadi seorang Yoman di atas kertas  tanpa memahami persepsi yang telah lama terbangun di kalangan rakyat dan masyarakat sipil. Ide bahwa operasi militer dan kekerasan memerangi OPM di Papua yang dipelihara oleh pihak keamanan untuk kepentingan naik pangkat dan uang nyamuk sudah menjadi pendapat public. Kami menganggap aneh penangkapan terhadap Yoman lantaran pernyataan tersebut yang sudah menjadi pengetahuan semua kalangan yang telah lama membisu. Sehingga penahanan terhadap pak Yoman kami menilai sebagai langkah yang keliru untuk mengubah persepsi masyrakat tentang perilaku dan kipra TNI dan POLRI di Tanah Papua
Kedua, tindakan Polda memanggil Yoman kami menduga sebagai sebuah upaya membungkam suara kritis/kebebasan unsur masyarakat sipil mengeluarkan pendapat. Pernyataan Yoman seharusnya disikapi dengan langkah-langkah konkrit dari Polda dan Pangdam untuk menarik semua pasukan TNI POLRI dari Puncak Jaya dan mengijinkan pihak ketiga/ Tim independent untuk melakukan investigasi untuk menguji kebenaran pernyataan Pak Yoman. Karena substansi dari pernyataan pak Yoman adalah persepsi umatnya terhadap perilaku dan budaya serta pola pikir dan tindak POLRI dan TNI yang telah lama terbangun sejak Papua menjadi bagian dari NKRI. Langkah memanggil seorang Yoman untuk membungkam persepsi dan pandangan yang telah lama terbangun di masyarakat sudah salah.
Ketiga, tindakan memanggil Yoman juga kami nilai keliru bukan saja karena langkah tersebut sebagai upaya memerangi persepsi yang sudah terbangun, tetapi juga karena pernyataan Yoman dalam semangat menjalankan peranan keagamaan: peran profetis/kenabian yang disikapi secara politis dan hukum. Kami melihat pemanggilan Polda terhadap seorang tokoh Gereja Papua yang berkarya dalam  konteks Papua yang sedang mengalami penjajahan internal: penghancuran martabat (dalam kata-kata Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas), tidak beda jauh lebih yang dilakukan Polisi penjajah Belanda terhadap ulama oposan Syeik Haji Rasul dari Minangkabau kelahiran 10 Februari 1879 yang seringkali dipanggil keamanan penjajah Belanda lantaran sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah Belanda terkait ordonansi dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang menyudutkan umatnya.
Keempat, logika sederhana Yoman yang mendasari pernyataannya adalah dua hal. Lembaga Negara yang memiliki badan inteleigen berlapis (dari POLRI, Kodam dan Kesbang) di Papua seakan-akan tidak berfungsi pada hal sebenarnya bisa bekerja mengantisipasi  menyelesaikan konflik yang terjadi di Puncak Jaya sejak tahun 2004 hingga sekarang. Tetapi sepertinya lembaga-lembaga itu tidak berfungsi. Di tambah dengan persepsi publik bahwa dana otsus di Puncak Jaya dipakai untuk membiayai operasi pengamanan.
Kelima, terkait operasi militer di Puncak Jaya dewasa ini yang disebutkan Yoman, kami menilainya dalam konteks Papua yang sedang mengalami penyerangan bertubi-tubi dari Jakarta untuk memusnahkan  Papua secara halus tetapi pasti. Sehingga operasi militer di Puncak Jaya dewasa ini adalah bagian dari serangan itu yang melibatkan POLRI dan TNI. Artinya TNI POLRI tidak mau tinggal diam. Serangan yang sedang dilakukan Jakarta terhadap Papua yang kami maksud adalah sbb. (a) Otonomi Khusus yang tidak dijalankan secara konsekwen, melalui kebijakan-kebijakan yang membingungkan: seperti (a1) Inpres pemekaran Provinisi Irian Jaya Barat (yang kemudian menjadi Papua Barat) yang merongrong Otsus, dan pemekaran Provinsi Papua Tengah yang akan diadakan dalam tahun ini; (a2) Rencana mendatangkan Transmigrasi ke Pegunungan  Tengah yang tersiar bulan Mei; (a3) Inpres percepatan pembangunan, (a4) PP 2007 tentang lambang daerah (a5)  Pembiaran terhahap pelayanan kesehatan yang memprihatinkan (yang menyebabkan banyak warga kurang gizi, kematian lantaran penyakit kolera, dan malaria yang menewaskan banyak warga, dll) (6) tudingan bahwa Gereja Papua mendukung separatis dan (7) pelarangan buku-buku karya penulis Papua, dll.
Jadi singkatnya Operasi militer di Puncak Jaya kami menduga adalah strategi penyerangan untuk melengkapi kebijakan kekerasan pembangunan dari Jakarta tadi. 
Keenam, persepsi bahwa operasi militer di Puncak Jaya sedang dijaga dan dilakukan untuk program pembangunan suatu institusi militer yang baru di Pegunungan Tengah juga sudah lama terbangun di masyarakat. Persepsi  itu menguat sejak pernyataan petinggi ke amanan di Jakarta akhir tahun lalu, bahwa pihaknya akan membangun Kodam Baru di Papua.
Demikian penyampaian kami. Kiranya kita diberi kekuatan untuk terus menjaga Papua Tanah Damai yang telah menjadi komitmen kita bersama.
                                                                                       
 Jayapura  11 Agustus 2010
Ketua Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua

Pdt. J.J. Krey, S.Th

Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua

Pdt. Benny Giay

Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua

Socrates Sofyan Yoman, S.Th, MA

SURAT GEMBALA


SURAT GEMBALA 
 (No. 01/SG/VIII/10)
(Menyikapi Pemanggilan POLDA Papua terhadap Pdt. Socratez Sofyan Yoman, S.Th, MA)

Menanggapi pertanyaan warga Gereja Kingmi dari Kordinator di Pantai dan Pegunungan terkait pemanggilan Polda Papua terhadap Pdt. Socrates Yoman, Ketua Umum PGBP  beberapa hari lalu, maka  sebagai pimpinan Gereja mendesak pihak Polda untuk menghentikan pemanggilan tsb; mengingat pertimbangan berikut.
Pertama, kami berharap agar pihak Keamanan (Polda dan Kodam) tidak  membaca pernyataan Pdt. Socrates Yoman secara sepotong  sepotong dan sebagai pernyataan pribadi seorang Socratez Yoman di atas kertas. Kami minta Polda dan Pangdam melihat pernyataan Yoman sebagai ungkapan pikiran umat yang dipimpinnya. Karena ide bahwa operasi militer dan kekerasan dipelihara oleh pihak keamanan untuk kepentingan naik pangkat dan uang nyamuk sudah menjadi pendapat umat. Sehingga penahanan terhadap Pdt. Yoman kami menilai sebagai langkah yang keliru dalam mengubah persepsi masyarakat tentang perilaku dan kiprah TNI dan POLRI di Tanah Papua
Kedua, pernyataan Yoman seharusnya disikapi dengan langkah-langkah konkrit dari Polda dan Pangdam untuk menarik semua pasukan TNI POLRI dari Puncak Jaya dan mengijinkan pihak ketiga/ Tim independent untuk melakukan investigasi untuk menguji kebenaran pernyataan Pak Yoman. Karena substansi dari pernyataan pak Yoman adalah persepsi umatnya terhadap perilaku dan budaya kekerasan dari lembaga Negara seperti POLRI dan TNI yang telah lama terbangun sejak Papua menjadi bagian dari NKRI.
Ketiga, sebagai Gereja  kami melihat pemanggilan Polda terhadap seorang tokoh Gereja Papua yang berkarya dalam  konteks Papua yang sedang mengalami penjajahan internal: penghancuran martabat (dalam kata-kata Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas), tidak beda jauh dari yang dilakukan Polisi penjajah Belanda terhadap ulama oposan Syeik Haji Rasul dari Minangkabau kelahiran 10 Februari 1879 yang seringkali dipanggil keamanan penjajah Belanda lantaran sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah Belanda terkait ordonansi dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang menyudutkan umatnya.
Keempat, kami sebagai Gereja bertanya: mengapa Lembaga Negara di Papua ini yang memiliki badan inteleigen berlapis (dari POLRI, Kodam dan Kesbang) seakan-akan tidak berfungsi pada hal sebenarnya mandatnya ialah agar mereka bisa bekerja mendeteksi potensi konflik dan  menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di Puncak Jaya sehingga Puncak Jaya tidak terus “situs berdarah-darah” sejak tahun 2004 hingga sekarang? Sepertinya lembaga-lembaga itu tidak berfungsi. Akibatnya banyak dari kami beranggapan bahwa memang konflik di Puncak Jaya dipelihara untuk mewujudkan program petinggi Keamanan di Jakarta akhir tahun 2009 lalu: untuk membuka Kodam baru di Papua.
Kelima,  operasi militer di Puncak Jaya yang sedang digelar dewasa ini (yang disebutkan Yoman), kami menilainya dalam hubungan dengan  Papua yang sedang mengalami penyerangan bertubi-tubi dari Jakarta untuk memusnahkan  bangsa Papua secara halus tetapi pasti. Dalam kerangka itu, operasi militer di Puncak Jaya dewasa ini adalah bagian dari serangan itu yang melibatkan POLRI dan TNI. Serangan yang sedang dilakukan Jakarta terhadap Papua yang kami maksud adalah sbb. (a) Otonomi Khusus yang tidak dijalankan secara konsekwen, melalui kebijakan-kebijakan yang membingungkan: seperti (a1) Inpres pemekaran Provinisi Irian Jaya Barat (yang kemudian menjadi Papua Barat) yang merongrong Otsus, dan pemekaran Provinsi Papua Tengah yang akan diadakan dalam tahun ini; (a2) Rencana mendatangkan Transmigrasi ke Pegunungan  Tengah yang tersiar bulan Mei; (a3) Inpres percepatan pembangunan, (a4) PP 2007 tentang lambang daerah (a5)  Pembiaran terhahap pelayanan kesehatan yang memprihatinkan (yang menyebabkan banyak warga kurang gizi, kematian lantaran penyakit kolera, dan malaria yang menewaskan banyak warga, dll) (6) tudingan bahwa Gereja Papua mendukung separatis dan (7) pelarangan buku-buku karya penulis Papua, dll. Jadi singkatnya Operasi militer di Puncak Jaya kami menduga adalah strategi penyerangan untuk melengkapi kebijakan kekerasan pembangunan dari Jakarta tadi. 
Sebagai Gereja dan masyarakat kita sedang menjalani masa-masa penuh kekerasan dan ketidak pastian. Kami menghimbau umat untuk tetap menjaga keutuhan diri, keluarga, kampong dan masyarakat. Kami mengajak umat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa memperkeruh situasi. Mari kita berdiri teguh. Kita tidak kebetulan berada di negeri ini. Tuhan telah menempatkan kita di tanah ini untuk mengambil bagian dalam membangun keutuhan tadi. Tuhan menyertai kita semua.
Kiranya kita diberi kekuatan untuk terus menjaga Papua yanag utuh, Papua Tanah Damai yang telah menjadi impian dan komitmen kita bersama untuk mewujudkannya.
                                                                                       
                                                                                                      Jayapura  11 Agustus 2010
                                                                                          Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua


                                                                                       Pdt. Benny Giay