SURAT GEMBALA
(No. 01/SG/VIII/10)
(Menyikapi Pemanggilan POLDA Papua terhadap Pdt. Socratez Sofyan Yoman, S.Th, MA)
Menanggapi pertanyaan warga Gereja Kingmi dari Kordinator di Pantai dan Pegunungan terkait pemanggilan Polda Papua terhadap Pdt. Socrates Yoman, Ketua Umum PGBP beberapa hari lalu, maka sebagai pimpinan Gereja mendesak pihak Polda untuk menghentikan pemanggilan tsb; mengingat pertimbangan berikut.
Pertama, kami berharap agar pihak Keamanan (Polda dan Kodam) tidak membaca pernyataan Pdt. Socrates Yoman secara sepotong sepotong dan sebagai pernyataan pribadi seorang Socratez Yoman di atas kertas. Kami minta Polda dan Pangdam melihat pernyataan Yoman sebagai ungkapan pikiran umat yang dipimpinnya. Karena ide bahwa operasi militer dan kekerasan dipelihara oleh pihak keamanan untuk kepentingan naik pangkat dan uang nyamuk sudah menjadi pendapat umat. Sehingga penahanan terhadap Pdt. Yoman kami menilai sebagai langkah yang keliru dalam mengubah persepsi masyarakat tentang perilaku dan kiprah TNI dan POLRI di Tanah Papua
Kedua, pernyataan Yoman seharusnya disikapi dengan langkah-langkah konkrit dari Polda dan Pangdam untuk menarik semua pasukan TNI POLRI dari Puncak Jaya dan mengijinkan pihak ketiga/ Tim independent untuk melakukan investigasi untuk menguji kebenaran pernyataan Pak Yoman. Karena substansi dari pernyataan pak Yoman adalah persepsi umatnya terhadap perilaku dan budaya kekerasan dari lembaga Negara seperti POLRI dan TNI yang telah lama terbangun sejak Papua menjadi bagian dari NKRI.
Ketiga, sebagai Gereja kami melihat pemanggilan Polda terhadap seorang tokoh Gereja Papua yang berkarya dalam konteks Papua yang sedang mengalami penjajahan internal: penghancuran martabat (dalam kata-kata Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas), tidak beda jauh dari yang dilakukan Polisi penjajah Belanda terhadap ulama oposan Syeik Haji Rasul dari Minangkabau kelahiran 10 Februari 1879 yang seringkali dipanggil keamanan penjajah Belanda lantaran sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah Belanda terkait ordonansi dalam bidang pendidikan dan bidang lain yang menyudutkan umatnya.
Keempat, kami sebagai Gereja bertanya: mengapa Lembaga Negara di Papua ini yang memiliki badan inteleigen berlapis (dari POLRI, Kodam dan Kesbang) seakan-akan tidak berfungsi pada hal sebenarnya mandatnya ialah agar mereka bisa bekerja mendeteksi potensi konflik dan menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di Puncak Jaya sehingga Puncak Jaya tidak terus “situs berdarah-darah” sejak tahun 2004 hingga sekarang? Sepertinya lembaga-lembaga itu tidak berfungsi. Akibatnya banyak dari kami beranggapan bahwa memang konflik di Puncak Jaya dipelihara untuk mewujudkan program petinggi Keamanan di Jakarta akhir tahun 2009 lalu: untuk membuka Kodam baru di Papua.
Kelima, operasi militer di Puncak Jaya yang sedang digelar dewasa ini (yang disebutkan Yoman), kami menilainya dalam hubungan dengan Papua yang sedang mengalami penyerangan bertubi-tubi dari Jakarta untuk memusnahkan bangsa Papua secara halus tetapi pasti. Dalam kerangka itu, operasi militer di Puncak Jaya dewasa ini adalah bagian dari serangan itu yang melibatkan POLRI dan TNI. Serangan yang sedang dilakukan Jakarta terhadap Papua yang kami maksud adalah sbb. (a) Otonomi Khusus yang tidak dijalankan secara konsekwen, melalui kebijakan-kebijakan yang membingungkan: seperti (a1) Inpres pemekaran Provinisi Irian Jaya Barat (yang kemudian menjadi Papua Barat) yang merongrong Otsus, dan pemekaran Provinsi Papua Tengah yang akan diadakan dalam tahun ini; (a2) Rencana mendatangkan Transmigrasi ke Pegunungan Tengah yang tersiar bulan Mei; (a3) Inpres percepatan pembangunan, (a4) PP 2007 tentang lambang daerah (a5) Pembiaran terhahap pelayanan kesehatan yang memprihatinkan (yang menyebabkan banyak warga kurang gizi, kematian lantaran penyakit kolera, dan malaria yang menewaskan banyak warga, dll) (6) tudingan bahwa Gereja Papua mendukung separatis dan (7) pelarangan buku-buku karya penulis Papua, dll. Jadi singkatnya Operasi militer di Puncak Jaya kami menduga adalah strategi penyerangan untuk melengkapi kebijakan kekerasan pembangunan dari Jakarta tadi.
Sebagai Gereja dan masyarakat kita sedang menjalani masa-masa penuh kekerasan dan ketidak pastian. Kami menghimbau umat untuk tetap menjaga keutuhan diri, keluarga, kampong dan masyarakat. Kami mengajak umat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang bisa memperkeruh situasi. Mari kita berdiri teguh. Kita tidak kebetulan berada di negeri ini. Tuhan telah menempatkan kita di tanah ini untuk mengambil bagian dalam membangun keutuhan tadi. Tuhan menyertai kita semua.
Kiranya kita diberi kekuatan untuk terus menjaga Papua yanag utuh, Papua Tanah Damai yang telah menjadi impian dan komitmen kita bersama untuk mewujudkannya.
Jayapura 11 Agustus 2010
Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua
Pdt. Benny Giay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar