Media Online Milik Gereja Kemah Injil KINGMI Papua

Kamis, 27 Januari 2011

DELAPAN POIN DEKLARASI TEOLOGIA PIMPINAN GEREJA GEREJA DI TANAH PAPUA

 Delapan Poin Deklarasi Teologia Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua dalam Demo Damai “Stop OTSUS dan Pemilihan Anggota MRP Jilid II" tanggal 26 Januari 2011 Di depan DPRP Papua di Jayapura. Berikut isi deklarasinya:

Pertama, Gereja Gereja makin diyakinkan bahwa proses proses ini mengulangi bentuk yang sama dari proses integrasi Papua yang bermasalah secara hukum dan budaya. Proses pelaksanaan Pepera 1969, merupakan akar permasalahan hukum dan demokrasi bagi rakyat Papua. Sejak diintegrasikan Papua dalam Indonesia, Papua telah menjadi wilayah bermasalah dalam kekuaaan pemerintah Indonesia.

Kedua, Bangsa Papua telah menjadi suatu “sejarah sunyi” yang mengarah kepada genocide. Wacana genocide telah disuarakan oleh berbagai bangsa yang begitu prihatin dengan keberlangsungan hidup bangsa Papua. Mungkin genocide menurut rumusan PBB dan Indonesia atau negara bangsa lainnya tak memenuhi rumusan rumusan tersebut.
Tapi genocide dari sudut pandang umat kami sebagai korban memang sedang terjadi melalui pengkondisian yang dilakukan oleh Jakarta berwujud ideologi dan kebijakan pembangunan yang tak berpihak kepada Orang Papua. Kebijakan transmigrasi maupun operasi militer yang tak berujung, merupakan siasat pengkondisian agar lama kelamaan Papua punah. Orang Papua telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan dan dibina, bukan sebagai warga Negara Indonesia yang setara. Kalangan pengamat Jakarta menyebut perlakuan demikian sebagai penjajah internal (internal colonialism) dan perbudakan terselubunh terhadap Papua.

Ketiga, kami, Gereja Papua mengakui dosa kami telah lama membisu terhadap unsur unsur demonic (jahat) dan destruktif dari pembangunan terhadap Orang Asli Papua yang menurut pengamat Jakarta adalah merupakan bentuk penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Sehingga Gereja Papua telah keliru mengartikulasikan isi firman Tuhan, “pemerintah adalah wakil Allah di dunia yang harus dijunjung tinggi”, membuat Gereja lumpuh dan tak dapat memainkan peran kenabiannya.

Keempat, menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat Tuhan di Tanah Papua, kami Gereja Gereja bertekad kembali ke akarnya, kembali ke habitatnya, yakni Alkitab dan Sejarah Gereja.
“Kami bertekat melihat sejarah umat yang menderita sebagai tanda tanda jaman (Matius 16: 3b) dan tantangan teologis dan misiologi. Ini berarti Tuhan telah mengirim Gereja Gereja di Papua ke tengah umat yang tengah menjalani sejarah kelam itu,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, Gereja Gereja di Papua harus senantiasa bertanya dan berdialog dengan Tuhan.

Kelima, konsekuensinya, sikap Gereja Gereja di Papua selama ini dalam menyuarakan luka batin umat Tuhan di Tanah Papua adalah merupakan bagian integral dan panggilan sejati Gereja dalam mewartakan firman Tuhan Allah yang mengutus kami. Alkitab dan sejarah Gereja adalah pijakan kami dalamj bertindak. Dalam misi ini, Gereja bertugas mengembalakan umat Allah, menjaga gambar dan rupa Allah agar tak boleh diperlakukan dengan sewenang wenang (Yoh. 10:11;21:12, 16, 19). Sebagai gembala, kami patut mendengarkan suara domba domba (jemaat) kami dalam semangat inilah kami mengangkat suara kami karena “Perahu kehidupan kami sedang tenggelam, lilin kehidupan umat kami sedang dipadamkan atas nama pembangunan, integritas teritorial, demi keutuhan negara”.

Keenam, terkait kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah terkini, dengan ini kami nyatakan : (a) bahwa pemerintah Indonesia telah gagal membangun Orang Asli Papua bertolak dari Otsus. Oleh karena itu, kami seruhkan agar pemerintah segera menghentikan seluruh proses pemilihan MRP jilid kedua yang sedang berlangsung dan menjawab musyawarah MRP; (b) sebagai solusinya kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak yang netral; (c) kami juga prihatin dengan prilaku pejabat asli Papua yang tak berpihak terhadap hak hak rakyatnya sendiri.

Ketujuh, kami menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatanmu, nyatakan kebenaranmu di hadapan penguasa negara yang lalim, yang sedang melakukan penjajahan internal (internal colonialism), pembasmian etnis (genocide) dan perbudakan terselubung (disquised slavery) atas bangsamu.

Kedelapan, kepada saudara saudari umat Tuhan di Tanah Papua, di Indonesia dan dimana saja, berdoalah bagi kami dalam solidaritas, agar kami menjadi teguh di dalam menghargai tantangan jaman Papua masa kini yang penuh dengan penderitaan dan air mata.

Siaran Pers Pimpinan Gereja-Gereja di Tanah Papua



Menuju Papua Baru : Belajar dari Frans van Lith


(Pendidikan Bagi Semua Elemen Rakyat  di Tanah Papua Barat)

 Siapa Frans van Lith?
Frasisicus Georgius Josephus van Lith atau yang sering disebut Frans van Lith adalah seorang misionaris asal Belanda yang datang ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Katolik tapi juga untuk belajar budaya dan adat-istiadat orang Jawa, terutam di daerah Jawa Tengah. Ia yang mengembang misi dari Ordo Jesuit ini lahir tanggal 17 Mei 1863 dan meninggal di Jawa tanggal 9 Januari1926. Ia tiba di Semarang tahun 1896 dan mulai menetap di Mutilan tahun 1897. Di Mutilan ia tinggal di sebuah desa di pinggiran sungai Lamat yang bernama Semampir. Dengan menetap di Desa ini ia mulai menjalankan misinya. Hasil dari misinya itu pada 14 Desember 1904 ia membaptis 171 orang Jawa yang berasal dari wilayah Kaliwang di Sendangsono dan Kulon Progo. Misi pelayanannya di wilayah ini berjalan dengn baik. Pertanyaannya adalah pendekatan seperti apa yang ia pakai hingga misinya berjalan lancar?

Misi yang Dijalaninya
Frans van Lith berhasil dalam misinya karena dia membiarkan orang Jawa tumbuh dalam hidup beriman Kristianinya dari dalam, menurut gayanya sendiri dan tidak menurut ukuran-ukuran atau gaya Belanda. Gaya penginjilan Romo van Lith adalah bebas dari penindasan kebudayaan dari segala seginya. Gerakan misinya tidak seperti beberapa misi gereja pertobatan di Papua yang justru menindas kebudayaan orang asli.
Ia mengajar orang Jawa untuk mengenal Yesus Kristus dari budaya mereka. Ia tidak memaksa mereka mengenal Yesus dengan gaya orang Eropa dan Amerika. Ia juga memberikan penyadaran-penyadaran atas situasi sosial yang dihadapi orang Jawa pada waktu itu.
Dalam situasi orang Jawa yang tertindas dan terjajah pada saat itu ia berdiri disisi mereka dan bersuara kenabian. Dalam suara kenabiannya ia pernah berkata “setiap orang sekarang tahu, kami, para misionaris, ingin bertindak sebagai penengah, tetapi setiap orang tahu juga, bahwa seandainya terjadi perpecahan, meskipun hal itu tidak kami harapkan, sedangkan kami terpaksa memilih, kami akan berdiri di pihak pribumi”, artinya golongan yang dijajah dan dihisap. Dari pernyataannya ini ia hendak berkata bahwa gereja tak dapat hidup untuk dirinya sendiri. Gereja harus ada digaris keprihatinan Allah akan dunia yang kacau balau. Tugas gereja bukan hanya membaptis orang dan menambah jumlah anggota-anggotanya, tapi juga tenggelam dalam dunia sosial umat untuk memberikan pemahaman dan penyadaran baik kepada umat itu sendiri tapi juga kepada penguasa yang menindas.
Romo van Lith dalam pelayanannya telah memihak kepentingan orang-orang pribumi yaitu orang-orang yang ditindas dan dihisap. Dalam semangat kemanusiaan, keadilan, dan persaudaraan ia telah membela kesamaan hak dan persaudaraan universal. Ia adalah seorang yang berani mengkritisi penguasa dan para penjajah lainnya dengan kata-kata profetisnya. Ia pernah berkata bahwa “Apa yang sekarang ada, tidak akan tetap ada. Apa yang lemah, akan menjadi kuat; yang kuat, menjadi lemah. Apa yang sekarang berjalan, akan berhenti dan apa yang sekarang berdiri, akan jatuh. Zaman baru mulai menyingsing. Siapa bijaksana bersiap-siap menyosongsong kedatangannya.”
Perjuangannya untuk penyamaan hak tidak hanya dilakukannya lewat mimbar-mimbar gereja tapi juga melalui dunia pendidikan. Ia membuka sebuah sekolah yang diberi nama “Kweekschool”. Sekolah ini dibuka untuk mendidik anak-anak pribumi agar mereka ini nantinya kembali menjadi guru bagi orang Jawa lainnya tapi juga agar mereka mempunyai kedudukan yang baik dalam masyarakat. Selain itu sekolah itu dibuka berangkat dari pengamatannya tentang mentalitas orang-orang Jawa saat itu yang sangat terkooptasi oleh gaya orang Belanda melalui pendidikan kaum penjajah. Berangkat dari pengalaman itu ia membuka sekolah bersifat kontekstual walaupun harus sedikit kompromi dengan kurikulum pendidikan penjajah.
Untuk membendung pengaruh westernisasi van Lith mengunakan dua macam strategi, yakni; 1) Mendidik dan membina guru-guru sekolah dasar untuk memahami kebudayaan Jawa agar transfer ilmunya nanti bersifat kontekstual. Hal itu dilakukan karena menurutnya disanalah dasar dari pembentukan watak/mentalitas generasi masa depan. 2) Ia mengelar pertemuan-pertemuan dengan semua unsur masyarakat guna mengajak mereka mempelajari dan mengamalkan kebudayaan mereka pada setiap kehidupan. Kedua hal itu dilakukan sebab bahaya alienasi budaya barat sangat mengancam eksistensi hidup orang Jawa saat itu.  
Agar misinya benar-benar berhasil ia membentuk sekolah-sekolah berpola asrama. Maksudnya supaya anak-anak murid itu berkonsentrsi dengan ilmu yang mereka pelajari. Mereka diasingkan dalam disiplin yang tinggi supaya spritualitas dan mentalitas mereka benar-benar kuat. Menurut van Lith hanya dengan demikian mereka akan berani bersuara membela kaum yang dijajah dan dihisap.      

Bagaimana dengan kita di Papua?
Pertanyaan diatas menantang kita semua, orang pribadi, organisasi gereja, pemerintah, LSM-LSM dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudahkah kehidupan yang kita bangun selama ini menjawab kebutuhan-kebutuhan riil kita dan masyarakat kita? Atau paling tidak mengikuti teladan Romo van Lith diatas untuk merubah tatanan sosial kita yang sangat sembrawut ini.
Hampir setiap hari media-media lokal di tanah Papua menunjukan wajah tatanan sosial kita yang hancur di mana-mana. Tingkat korupsi semakin tinggi, jumlah penginap HIV/AIDS terus meningkat, tindakan kriminalitas makin bertambah, pendidikan di wilayah-wilayah pegunungan yang berantakan akibat guru-guru yang meninggalkan sekolah tapi juga karena gedung sekolah yang rusak, bertambahnya kenakalan remaja karena kurangnya pengawasan dari orang tua dan agama, situasi politik, hukum dan HAM yang tidak stabil,  kesejahteraan hidup yang jauh dari layak serta penyakit sosial lainnya.
Dalam situasi berantakan itu kita berkarya namun kesadaran kita untuk merubah kehidupan sosial kita seperti itu kayaknya tidak ada. Barangkali karena kita telah dihinggapi oleh egoisme yang tinggi atau karena uang telah menggurita pikiran-pikiran positif kita. Atau mungkin kita dihantui oleh ketakutan akibat tekanan-tekanan penguasa melalui aparat militer sehingga kita bertingkah seolah tidak tahu menahu.
Perubahan di Papua tidak bisa dilakukan hanya dengan teori-teori modern yang dibaluti kepentingan-kepentingan egoistis. Teori-teori modern kadang kurang pas dengan realita hidup kita. Oleh karena itu teori modern arus dikawinkan dengan realita tapi juga kebudayaan kita agar perubahan bisa terlihat. Tapi kita juga harus bermawas dengan teori-teori kaum penjajah dan kapitalis yang sudah dan sedang menghancurkan kita.
  
Pengalaman dan karya van Lith diatas kiranya menjadi guru yang terbaik bagi kita (pribadi, keluarga, gereja, lsm, lembaga pendidikan dan pemerintah) dalam berkebijakan guna menuju Papua Baru. Papua tanpa jeritan tangis dan air mata. Papua yang menghargai jatih diri, harkat serta martabat sesamanya.

by : Naftali Edoway  

Lihat Demonstarasi sebagai JALAN SALIB Menuju Papua Baru

Demonstrasi yang dilakukan oleh pimpinan gereja-gereja di tanah Papua bersama umatnya di Jayapura yang diikuti juga dengan aksi umat di beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat menunjukan bahwa umat di Papua ada dalam masalah yang besar.
Aksi unjuk rasa yang dipimpin oleh para pimpinan gereja ini dilakukan setelah sebelumnya mereka mengeluarkan komunike bersama menanggapi krisis politik yang terjadi di Papua dengan adanya pembentukan MRP jilid 2. Gereja mewakili umat menyatakan keberatan dan meminta menghentikan proses pemilihan MRP itu karena beberapa sebab. Pertama, proses pembentukan panitia dan persiapan perangkat perekrutan dilakukan pada bulan Desember. Bulan dimana orang Papua yang merupakan  mayoritas Kristen dan umat Kristen di dunia sedang merayakan natal dengan meriahnya. Gereja melihat ini sebagai penghinaan terhadap bulan suci orang Kristen tapi juga intrik politik kelompok kepentingan tertentu untuk meloloskan kepentingan Jakarta di Papua.
Kedua, Proses pemilihan MRP melalui Kesbag Pemerintah Propinsi Papua dinilai sebagai kebijakan pemerintah untuk menghancurkan integritas dan harga diri orang asli Papua. Pandangan gereja adalah MRP yang merupakan lembaga kultural Orang Asli Papua yang terdiri dari unsur, agama, adat dan perempuan seharusnya proses pemilihan dilakukan sendiri oleh orang asli Papua yang di danai oleh pemerintah. Itulah sebabnya gereja mempertanyakan apa maksud Kesbang ikut campur tangan dalam proses pemilihan MRP?
Ketiga. Proses pemilihan MRP jilid 2 yang terkesan memaksa ini sesungguhnya membajak 11 aspirasi rakyat yang lahir pada Mubes MRP bersama rakyat tahun 2010 lalu. Oleh karena itu gereja meminta supaya proses pemilihan dihentikan lalu pemerintah jawab aspirasi umat itu, agar tidak terjadi pengkaburan dan tumpang tindih masalah di Tanah Papua. Keempat, gereja menawarkan solusi penyelesaian masalah Papua melalui jalur damai yaitu dialog Papua-Jakarta yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Gereja yakin bahwa hanya dengan cara yang bermartabat seperti ini masalah Papua bisa dapat diselesaikan.
Dengan pikiran-pikiran seperti itu gereja telah mengajak umatnya turun ke jalan melakukan aksi protes terhadap pemerintah yang hampir tidak pernah mendengar teriakan umat di Papua.
Aksi demonstrasi ini sendiri dimulai dari kampus Uncen perumnas 3 dan Expo Waena. Massa yang berkonsentrasi di dua titik itu kemudian melakukan long march/ Jalan Salib menuju ke lingkaran Abepura lalu ke kantor MRP dan seterusnya ke Kantor DPRP Papua di Jayapura. Di bawah panas yang menyengat massa berjalan kaki sambil mendalami penderitaan Kristus ketika Ia memikul salib menuju Golgota. Aksi kali ini bukan sekedar aksi tapi ini merupakan bentuk ibadah secara terbuka.
Dalam aksi ini umat tidak hanya membawa spanduk, poster dan pamplet mereka juga mengusung dua buah peti mayat yang bertuliskan almarhum Otsus dan almarhum MRP serta sebuah salib bertuliskan Otsus gagal, jawab 11 rekomendasi rakyat. Peti dan salib itu kemudian diserahkan kepada DPRP Papua oleh dua orang perwakilan. Seorang bapak mewakili para hamba Tuhan di Tanah Papua dan seorang ibu anggota majelis gereja mewakili seluruh umat di tanah Papua.
Saat umat melalui pimpinan sinode menanyakan nasib 11 rekomendasi yang pernah disampaikan umat tahun 2010, DPRP melalui ketua I Yunus Wonda menyampaikan bahwa aspirasi itu telah disampaikan ke Jakarta namun hingga saat ini belum ada jawaban dari pemerintah di Jakarta.
Susai mendengar penjelasan itu para pimpinan gereja-gereja di Tanah Papua membacakan Deklarasi Teologia. Intisari dari deklarasi ini adalah 1) gereja memohon ampun kepada Tuhan dan meminta maaf kepada umatnya sebab selama sekian tahun gereja telah membisu di atas penderitaan umat di tanah Papua. 2) Gereja berkomitmen ada di barisan umat yang menderita akibat perbudakan terselubung, dan siap bersuara kenabian bagi mereka. 3) Gereja mengajak umat untuk tidak berdiam diri, tapi bangkit mengerjakan keselamatan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat di tengah tekanan hidup yang semakin berat. 4) Gereja meminta pemerintah Jakarta membuka diri berdialog dengan Orang Asli Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral guna menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Papua.
Mendengar tuntutan umat itu DPRP dihadapan umat menyampaikan bahwa mereka akan mengundang para pimpinan gereja dalam seminggu kedepan dan bersama-sama akan menuju ke Jakarta guna menyampaikan aspirasi umat itu.
Melihat gereja yang tampil membela umatnya, ada sekelompok orang menyatakan protes, misalnya kelompok Barisan Merah Putih. Mereka menyampaikan bahwa gereja tidak boleh berpolitik karena tugas gereja adalah menyampaikan Firman Tuhan di mimbar gereja. Bagi sebagian kaum awam yang tidak mendalami Firman Tuhan mereka pasti akan mendukung pernyataan itu, tapi kaum yang mendalami dan memaknai Injil Kristus itu secara utuh pasti akan mengkritik habis pernyataan tersebut.
Sesunggunhya kehadiran gereja di dunia ini mengembang misi Kristus yang tersirat dalam Lukas 4:18-19. Gereja yang di dalamnya ada Roh Tuhan memiliki  tugas untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, menyadarkan umat yang buta akan situasi social politik, membebaskan orang-orang yang tertindas dan menyatakan bahwa tahun rahmat Tuhan/ tahun pembebasan akan segera tiba. Pewartaan akan Injil Kristus tidak hanya bisa dilakukan di mimbar-mimbar dalam gereja. Itu bisa dilakukan dimana saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Kesaksian di Alkitab menunjukan bahwa Yesus justru menyampaikan kabar baik itu lebih banyak di alam terbuka. Jarang sekali Dia menyampaikan kabar sucakita itu di sinagoge. Ini menunjukan rasa solider yang medalam dari Yesus bagi kaum yang terpinggirkan dan tertindas, karena memang pada saat itu Israel sedang dijajah oleh pemerintahan Romawi. Bagi Yesus, dengan cara pewartaan seperti itu Injil akan benar-benar mendarat di hati manusia.
Ada tiga misi Kristus yang ingin diemban gereja di Papua sekarang, yakni misi Raja, Imam dan Nabi. Kata Raja berkaitan erat dengan kekuasaan. Dalam konteks ini kekuasaan yang mengatur dan mengayomi bukan menindas. Gereja yang mengembang Misi Raja akan mengembalakan umatnya dengan baik melalui tata aturan gereja yang di dasari oleh Injil Kristus. Tata aturan gereja yang tidak menindas umatnya. Tata aturan gereja yang memberikan ruang bagi umat untuk bebas beribadah dan berkreasi.
Gereja sebagai Imam tugasnya adalah mengajak umat untuk selalu dekat dengan Tuhan. Gereja juga mempunyai tugas mengajak umat berdoa dengan bebas tentang situasi apa pun di dunia ini termasuk situasi ketidak adilan dan penindasan oleh tirani-tirani yang dipakai oleh si jahat.  Tidak sampai disitu, tugas gereja yang selanjutnya adalah menyatakan apa yang benar kepada yang benar dan salah kepada yang salah. Gereja harus terus menerus bersuara kenabian. Gereja harus terus menerus menyatakan perang dengan penindasan dan ketidakadilan yang dialami umat manusia di dunia ini. Perang yang dimaksudkan disini adalah perang untuk menuju perbaikan hidup bukan menghancurkan. Perang yang menegur bukan membiarkan umat berlaku tidak adil.
Marilah kita melihat gerak langkah perjuangan kita sebagai Perjalan Salib menuju Papua Baru. Papua tanpa penindasan. Papua tanpa manipulasi. Papua tanpa pelecehan dan pemerkosaan. Papua tanpa perbudakan dan diskriminasi, dll.
Gereja-gereja di Papua telah berkomitmen untuk bersolider dengan umatnya. Bagaimana dengan umat..apakah umat juga siap mendukung para pemimpinnya?? Semoga.

by: Naftali Edoway