Demonstrasi yang dilakukan oleh pimpinan gereja-gereja di tanah Papua bersama umatnya di Jayapura yang diikuti juga dengan aksi umat di beberapa kabupaten di Papua dan Papua Barat menunjukan bahwa umat di Papua ada dalam masalah yang besar.
Aksi unjuk rasa yang dipimpin oleh para pimpinan gereja ini dilakukan setelah sebelumnya mereka mengeluarkan komunike bersama menanggapi krisis politik yang terjadi di Papua dengan adanya pembentukan MRP jilid 2. Gereja mewakili umat menyatakan keberatan dan meminta menghentikan proses pemilihan MRP itu karena beberapa sebab. Pertama, proses pembentukan panitia dan persiapan perangkat perekrutan dilakukan pada bulan Desember. Bulan dimana orang Papua yang merupakan mayoritas Kristen dan umat Kristen di dunia sedang merayakan natal dengan meriahnya. Gereja melihat ini sebagai penghinaan terhadap bulan suci orang Kristen tapi juga intrik politik kelompok kepentingan tertentu untuk meloloskan kepentingan Jakarta di Papua.
Kedua, Proses pemilihan MRP melalui Kesbag Pemerintah Propinsi Papua dinilai sebagai kebijakan pemerintah untuk menghancurkan integritas dan harga diri orang asli Papua. Pandangan gereja adalah MRP yang merupakan lembaga kultural Orang Asli Papua yang terdiri dari unsur, agama, adat dan perempuan seharusnya proses pemilihan dilakukan sendiri oleh orang asli Papua yang di danai oleh pemerintah. Itulah sebabnya gereja mempertanyakan apa maksud Kesbang ikut campur tangan dalam proses pemilihan MRP?
Ketiga. Proses pemilihan MRP jilid 2 yang terkesan memaksa ini sesungguhnya membajak 11 aspirasi rakyat yang lahir pada Mubes MRP bersama rakyat tahun 2010 lalu. Oleh karena itu gereja meminta supaya proses pemilihan dihentikan lalu pemerintah jawab aspirasi umat itu, agar tidak terjadi pengkaburan dan tumpang tindih masalah di Tanah Papua. Keempat, gereja menawarkan solusi penyelesaian masalah Papua melalui jalur damai yaitu dialog Papua-Jakarta yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Gereja yakin bahwa hanya dengan cara yang bermartabat seperti ini masalah Papua bisa dapat diselesaikan.
Dengan pikiran-pikiran seperti itu gereja telah mengajak umatnya turun ke jalan melakukan aksi protes terhadap pemerintah yang hampir tidak pernah mendengar teriakan umat di Papua.
Aksi demonstrasi ini sendiri dimulai dari kampus Uncen perumnas 3 dan Expo Waena. Massa yang berkonsentrasi di dua titik itu kemudian melakukan long march/ Jalan Salib menuju ke lingkaran Abepura lalu ke kantor MRP dan seterusnya ke Kantor DPRP Papua di Jayapura. Di bawah panas yang menyengat massa berjalan kaki sambil mendalami penderitaan Kristus ketika Ia memikul salib menuju Golgota. Aksi kali ini bukan sekedar aksi tapi ini merupakan bentuk ibadah secara terbuka.
Dalam aksi ini umat tidak hanya membawa spanduk, poster dan pamplet mereka juga mengusung dua buah peti mayat yang bertuliskan almarhum Otsus dan almarhum MRP serta sebuah salib bertuliskan Otsus gagal, jawab 11 rekomendasi rakyat. Peti dan salib itu kemudian diserahkan kepada DPRP Papua oleh dua orang perwakilan. Seorang bapak mewakili para hamba Tuhan di Tanah Papua dan seorang ibu anggota majelis gereja mewakili seluruh umat di tanah Papua.
Saat umat melalui pimpinan sinode menanyakan nasib 11 rekomendasi yang pernah disampaikan umat tahun 2010, DPRP melalui ketua I Yunus Wonda menyampaikan bahwa aspirasi itu telah disampaikan ke Jakarta namun hingga saat ini belum ada jawaban dari pemerintah di Jakarta.
Susai mendengar penjelasan itu para pimpinan gereja-gereja di Tanah Papua membacakan Deklarasi Teologia. Intisari dari deklarasi ini adalah 1) gereja memohon ampun kepada Tuhan dan meminta maaf kepada umatnya sebab selama sekian tahun gereja telah membisu di atas penderitaan umat di tanah Papua. 2) Gereja berkomitmen ada di barisan umat yang menderita akibat perbudakan terselubung, dan siap bersuara kenabian bagi mereka. 3) Gereja mengajak umat untuk tidak berdiam diri, tapi bangkit mengerjakan keselamatan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat di tengah tekanan hidup yang semakin berat. 4) Gereja meminta pemerintah Jakarta membuka diri berdialog dengan Orang Asli Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral guna menyelesaikan krisis politik dan kemanusiaan di Papua.
Mendengar tuntutan umat itu DPRP dihadapan umat menyampaikan bahwa mereka akan mengundang para pimpinan gereja dalam seminggu kedepan dan bersama-sama akan menuju ke Jakarta guna menyampaikan aspirasi umat itu.
Melihat gereja yang tampil membela umatnya, ada sekelompok orang menyatakan protes, misalnya kelompok Barisan Merah Putih. Mereka menyampaikan bahwa gereja tidak boleh berpolitik karena tugas gereja adalah menyampaikan Firman Tuhan di mimbar gereja. Bagi sebagian kaum awam yang tidak mendalami Firman Tuhan mereka pasti akan mendukung pernyataan itu, tapi kaum yang mendalami dan memaknai Injil Kristus itu secara utuh pasti akan mengkritik habis pernyataan tersebut.
Sesunggunhya kehadiran gereja di dunia ini mengembang misi Kristus yang tersirat dalam Lukas 4:18-19. Gereja yang di dalamnya ada Roh Tuhan memiliki tugas untuk menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, menyadarkan umat yang buta akan situasi social politik, membebaskan orang-orang yang tertindas dan menyatakan bahwa tahun rahmat Tuhan/ tahun pembebasan akan segera tiba. Pewartaan akan Injil Kristus tidak hanya bisa dilakukan di mimbar-mimbar dalam gereja. Itu bisa dilakukan dimana saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Kesaksian di Alkitab menunjukan bahwa Yesus justru menyampaikan kabar baik itu lebih banyak di alam terbuka. Jarang sekali Dia menyampaikan kabar sucakita itu di sinagoge. Ini menunjukan rasa solider yang medalam dari Yesus bagi kaum yang terpinggirkan dan tertindas, karena memang pada saat itu Israel sedang dijajah oleh pemerintahan Romawi. Bagi Yesus, dengan cara pewartaan seperti itu Injil akan benar-benar mendarat di hati manusia.
Ada tiga misi Kristus yang ingin diemban gereja di Papua sekarang, yakni misi Raja, Imam dan Nabi. Kata Raja berkaitan erat dengan kekuasaan. Dalam konteks ini kekuasaan yang mengatur dan mengayomi bukan menindas. Gereja yang mengembang Misi Raja akan mengembalakan umatnya dengan baik melalui tata aturan gereja yang di dasari oleh Injil Kristus. Tata aturan gereja yang tidak menindas umatnya. Tata aturan gereja yang memberikan ruang bagi umat untuk bebas beribadah dan berkreasi.
Gereja sebagai Imam tugasnya adalah mengajak umat untuk selalu dekat dengan Tuhan. Gereja juga mempunyai tugas mengajak umat berdoa dengan bebas tentang situasi apa pun di dunia ini termasuk situasi ketidak adilan dan penindasan oleh tirani-tirani yang dipakai oleh si jahat. Tidak sampai disitu, tugas gereja yang selanjutnya adalah menyatakan apa yang benar kepada yang benar dan salah kepada yang salah. Gereja harus terus menerus bersuara kenabian. Gereja harus terus menerus menyatakan perang dengan penindasan dan ketidakadilan yang dialami umat manusia di dunia ini. Perang yang dimaksudkan disini adalah perang untuk menuju perbaikan hidup bukan menghancurkan. Perang yang menegur bukan membiarkan umat berlaku tidak adil.
Marilah kita melihat gerak langkah perjuangan kita sebagai Perjalan Salib menuju Papua Baru. Papua tanpa penindasan. Papua tanpa manipulasi. Papua tanpa pelecehan dan pemerkosaan. Papua tanpa perbudakan dan diskriminasi, dll.
Gereja-gereja di Papua telah berkomitmen untuk bersolider dengan umatnya. Bagaimana dengan umat..apakah umat juga siap mendukung para pemimpinnya?? Semoga.
by: Naftali Edoway
Tidak ada komentar:
Posting Komentar