(Sebuah Ringkasan)
Marthen Luther adalah anak seorang petani. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya Margaretha Lindemann. Marthen lahir pada 10 November 1483 menjelang tengah malam di Longestrasse tempat dimana mereka tinggal. Keesokan harinya, Ia dipabtis di gereja Petrus. Dalam usianya yang masih enam bulan orang tuanya membawa dia pindah ke Mansjeld.
Ketika ia berumur 7 tahun, ayahnya membawa dia ke sekolah. Ia tidak menikmati pendidikan dengan baik sebab guru-gurunya tidak mengajar dengan baik sementara itu hukuman yang mereka dapatkan sangat keras. Marthen yang kecil itu pernah dipukul gurunya 15 kali. Walaupun demikian pengalaman yang buruk itu diterimanya, karena baginya dibalik pengalaman itu ada hal indah yang disiapkan Tuhan bagi dia. Makanya ia pernah berkata bahwa “disamping tongkat pemukul ada terletak buah apel”. Kenangan terindah dimasa sekolahnya adalah ia sering digendong oleh salah seorang sahabatnya yang lebih tua ke sekolah karena jalanan penuh dengan lumpur. Ucapan terima kasih ia sampaikan saat ia berusia 50 tahun. Ia mengadiahkan sebuah Alkitab yang didalamnya tertulis “kepada Nikolas Vanler sahabat lama saya yang baik, yang telah sering mendukung saya pulang pergi sekolah”. Sahabatnya itu belakangan menjadi iparnya.
Marthen masuk kuliah pada tahun 1501 di sebuah universitas di kota Erfurt Jerman. Ia mengambil jurusan hukum. Universitas itu cukup maju pada samannya, sehingga setiap tahunnya sekitar 400 mahasiswa mendaftarkan diri.
Biara adalah tempat studi dia yang lainnya. Ia sangat senang mengikuti kuliah-kuliah disana. Suatau ketika ia mengambil cuti dan pulang ke orang tuanya selama sepuluh hari di Mansfeld. Sepulang dari orang tuanya, kepala biara menyuruhnya ke Roma untuk mengajar pada univeritas yang baru dibuka disana pada fakultas Artes. Setelah 5 bulan disana ia kembali lalu merencanakan masa depan hidupnya. Saat ia merencanakan masa depannya itulah, ia mengucapkan janji bahwa ia akan membela kebenaran Firman Allah melalui tulisan dan kata sepanjang hidupnya.
Suatu hari, Marthen memandang pekarangan di biara itu di mana di salah satu sudutnya berdiri pohon Peer. Tiba-tiba ia teringat kepada Staupitz bekas gurunya yang selalu menguatkan dan menghibur dirinya dengan kata-kata “nantikanlah Allah, Ia akan menolongmu”. Di bawah pohon itulah ia selalu mencurahkan isi hatinya kepada gurunya itu.
Pada tanggal 27 Juni 1519 perdebatan antara Luther dan Eck dimulai. Pada 14 Juli ia tampil menyatakan dalil-dalilnya. Seorang saksi mata mengatakan bahwa Eck lebih menyerupai seorang tukang daging sebaliknya Luther adalah seorang ahli teologia. Marthe seorang kurus karena berbagai kesukaran dan studinya. Perdebatan anatar keduanya berlangsung selama 10 hari. Pokok utama perdebatan mereka tentang “Primat Paus”, intinya tafsiran dari Matius 16:18. Menurut Eck yang dimaksud dengan “batu karang” dalam teks itu adalah Kristus sendiri, ia akan mendirikan jemaatnya yakni Petrus dan semua pengantinya. Sementara menurut Luther itu adalah pengakuan iman yang diucapkan Petrus atas dirinya sendiri.
Perdebatan-perdebatan selanjutnya menyangkut kekuasaan Paus dan keputusan-keputusan konsili. Luther tetap pada pendiriannya bahwa dalam urusan iman, kitab sucilah yang berkuasa. Baik Paus maupun konsili tidak bisa bertindak sebagai pemeberi keputusan terakhir, sebab setiap orang boleh naik banding kepada pernyataan Allah dalam Alkitab.
Tulisannya yang Penting
Pada tahun 1520 Luther menulis tiga hal yang penting dari seluruh karya hidupnya. Tulisan itu berjudul “Kepada kaum bangsawan Kristen bangsa Jerman, tentang perbaikan masyarakat Kristen”. Isinya ia berbicara tentang bahaya yang ditimbulkan dari kekuasaan tertinggi Paus dan tentang kesukaran-kesukaran rakyat Jerman, baik secara kemasyarakatan maupun secara kerohanian.
Tiga tembok telah didirikan oleh ahli-ahli politik gereja Roma, Yakni:
1. Pernyataan mereka bahwa kekuasaa gerejani adalah diatas kekuasaan duniawi, juga dalam soal-soal kemasyarakatan
2. Pendapat bahwa hanya Paus saja yang dapat menafirkan kitab suci
3. Anggapan bahwa hanya Paus saja yang mempuyai hak untuk memanggil berkumpul untuk satu konsili.
Tembok-tembok itu telah diruntuhkan oleh marthen Luther. Ia mengajak Kaisar dan raja-raja untuk berjuang, sebab mereka sebagai anggota-anggota gereja, berdasarkan imamat orang-orang percaya, berhak menangani hal pembaharuan gereja. Dia dengan jelas menunjukan dalam hal-hal mana perlu diadakan perubahan. Seruhannya, jika rakyat Kristen Jerman hendak menuju kepada suatu kehidupan yang bebas dan bahagia perhatikan bahwa hampir tidak masuk diakal, bagaimana seorang yang sebenarnya sedikit bergerak dalam kehidupan umum, sekonyong-konyong mempunyai pandangan yang begitu tajam dan hampir menyeluruh dengan persoalan-persoalan rakyat dalam terang injil. Tetapi di awal tulisannya yang kuat dan berkiblat politik ini ada azas teologi dan religious yang merupakan taruhan perjuangannya. Menurutnya, semua orang Kristen adalah sungguh-sungguh anggota dari kaum rohani awam. Tidak ada golongan tersendiri, tidak ada imam-imam yang mempunyai hak-hak istimewa yang tertentu dalam gereja dan masyarakat.
Seorang Paus dan Uskup tidak lebih kedudukannya dengan imam yang paling rendah dan ia tidak lebih kedudukannya dari seorang Kristen sederhana, sekalipun itu perempuan dan anak-anak. Sebab jabatana pemberitaan rahmat itu diserahkan kepada semua orang percaya. Seorang pemberita injil melakukan jabatan ini sebagai wakil; tetapi itu dilakukan berdasarkan imamat orang-orang percaya.
Luther juga memprotes anggapan-anggapan Roma mengenai sakramen-sakramen dan menunjukan bahwa tidak ada tujuh sakramen seperti yang diajarkan gereja Roma saat itu. ia berkata bahwa sakramen yang ada hanya sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus. Pengakuan dosa-dosa sebenarnya tidak dapat digolongkan ke dalam sakramen-sakramen karena padanya tidak ada tanda yang kelihatan yang diberikan Allah. Menurutnya, ketujuh sakramen dari gereja Roma itu adalah tujuh mata rantai dari suatu rantai yang dipakai Paus untuk menawan hidup orang-orang percaya dari lahir sampai ke liang kubur.
Pada tahun 1520 ia menulis sebuah buku yang termasyur berjudul “Kebebasan Seorang Kristen”. Tulisannya ini bertitik tolak dari I Korintus 9:19. Thema amanat yang disampaikanya kepada dunia beriktisar dalam dua perkataan: Iman dan Cinta Kasih.
Akhirnya, ada perkataan menarik yang pernah disampaikannya yakni “kalau saya marah, saya paling kuat. Darah saya menjadi segar dan paham saya dipertajam”.
by. Naftali Edoway
Tidak ada komentar:
Posting Komentar