Delapan Poin Deklarasi Teologia Pimpinan Gereja Gereja di Tanah Papua dalam Demo Damai “Stop OTSUS dan Pemilihan Anggota MRP Jilid II" tanggal 26 Januari 2011 Di depan DPRP Papua di Jayapura. Berikut isi deklarasinya:
Pertama, Gereja Gereja makin diyakinkan bahwa proses proses ini mengulangi bentuk yang sama dari proses integrasi Papua yang bermasalah secara hukum dan budaya. Proses pelaksanaan Pepera 1969, merupakan akar permasalahan hukum dan demokrasi bagi rakyat Papua. Sejak diintegrasikan Papua dalam Indonesia, Papua telah menjadi wilayah bermasalah dalam kekuaaan pemerintah Indonesia.
Kedua, Bangsa Papua telah menjadi suatu “sejarah sunyi” yang mengarah kepada genocide. Wacana genocide telah disuarakan oleh berbagai bangsa yang begitu prihatin dengan keberlangsungan hidup bangsa Papua. Mungkin genocide menurut rumusan PBB dan Indonesia atau negara bangsa lainnya tak memenuhi rumusan rumusan tersebut.
Tapi genocide dari sudut pandang umat kami sebagai korban memang sedang terjadi melalui pengkondisian yang dilakukan oleh Jakarta berwujud ideologi dan kebijakan pembangunan yang tak berpihak kepada Orang Papua. Kebijakan transmigrasi maupun operasi militer yang tak berujung, merupakan siasat pengkondisian agar lama kelamaan Papua punah. Orang Papua telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan dan dibina, bukan sebagai warga Negara Indonesia yang setara. Kalangan pengamat Jakarta menyebut perlakuan demikian sebagai penjajah internal (internal colonialism) dan perbudakan terselubunh terhadap Papua.
Ketiga, kami, Gereja Papua mengakui dosa kami telah lama membisu terhadap unsur unsur demonic (jahat) dan destruktif dari pembangunan terhadap Orang Asli Papua yang menurut pengamat Jakarta adalah merupakan bentuk penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Sehingga Gereja Papua telah keliru mengartikulasikan isi firman Tuhan, “pemerintah adalah wakil Allah di dunia yang harus dijunjung tinggi”, membuat Gereja lumpuh dan tak dapat memainkan peran kenabiannya.
Keempat, menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat Tuhan di Tanah Papua, kami Gereja Gereja bertekad kembali ke akarnya, kembali ke habitatnya, yakni Alkitab dan Sejarah Gereja.
“Kami bertekat melihat sejarah umat yang menderita sebagai tanda tanda jaman (Matius 16: 3b) dan tantangan teologis dan misiologi. Ini berarti Tuhan telah mengirim Gereja Gereja di Papua ke tengah umat yang tengah menjalani sejarah kelam itu,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, Gereja Gereja di Papua harus senantiasa bertanya dan berdialog dengan Tuhan.
Kelima, konsekuensinya, sikap Gereja Gereja di Papua selama ini dalam menyuarakan luka batin umat Tuhan di Tanah Papua adalah merupakan bagian integral dan panggilan sejati Gereja dalam mewartakan firman Tuhan Allah yang mengutus kami. Alkitab dan sejarah Gereja adalah pijakan kami dalamj bertindak. Dalam misi ini, Gereja bertugas mengembalakan umat Allah, menjaga gambar dan rupa Allah agar tak boleh diperlakukan dengan sewenang wenang (Yoh. 10:11;21:12, 16, 19). Sebagai gembala, kami patut mendengarkan suara domba domba (jemaat) kami dalam semangat inilah kami mengangkat suara kami karena “Perahu kehidupan kami sedang tenggelam, lilin kehidupan umat kami sedang dipadamkan atas nama pembangunan, integritas teritorial, demi keutuhan negara”.
Keenam, terkait kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah terkini, dengan ini kami nyatakan : (a) bahwa pemerintah Indonesia telah gagal membangun Orang Asli Papua bertolak dari Otsus. Oleh karena itu, kami seruhkan agar pemerintah segera menghentikan seluruh proses pemilihan MRP jilid kedua yang sedang berlangsung dan menjawab musyawarah MRP; (b) sebagai solusinya kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak yang netral; (c) kami juga prihatin dengan prilaku pejabat asli Papua yang tak berpihak terhadap hak hak rakyatnya sendiri.
Ketujuh, kami menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatanmu, nyatakan kebenaranmu di hadapan penguasa negara yang lalim, yang sedang melakukan penjajahan internal (internal colonialism), pembasmian etnis (genocide) dan perbudakan terselubung (disquised slavery) atas bangsamu.
Kedelapan, kepada saudara saudari umat Tuhan di Tanah Papua, di Indonesia dan dimana saja, berdoalah bagi kami dalam solidaritas, agar kami menjadi teguh di dalam menghargai tantangan jaman Papua masa kini yang penuh dengan penderitaan dan air mata.
Pertama, Gereja Gereja makin diyakinkan bahwa proses proses ini mengulangi bentuk yang sama dari proses integrasi Papua yang bermasalah secara hukum dan budaya. Proses pelaksanaan Pepera 1969, merupakan akar permasalahan hukum dan demokrasi bagi rakyat Papua. Sejak diintegrasikan Papua dalam Indonesia, Papua telah menjadi wilayah bermasalah dalam kekuaaan pemerintah Indonesia.
Kedua, Bangsa Papua telah menjadi suatu “sejarah sunyi” yang mengarah kepada genocide. Wacana genocide telah disuarakan oleh berbagai bangsa yang begitu prihatin dengan keberlangsungan hidup bangsa Papua. Mungkin genocide menurut rumusan PBB dan Indonesia atau negara bangsa lainnya tak memenuhi rumusan rumusan tersebut.
Tapi genocide dari sudut pandang umat kami sebagai korban memang sedang terjadi melalui pengkondisian yang dilakukan oleh Jakarta berwujud ideologi dan kebijakan pembangunan yang tak berpihak kepada Orang Papua. Kebijakan transmigrasi maupun operasi militer yang tak berujung, merupakan siasat pengkondisian agar lama kelamaan Papua punah. Orang Papua telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan dan dibina, bukan sebagai warga Negara Indonesia yang setara. Kalangan pengamat Jakarta menyebut perlakuan demikian sebagai penjajah internal (internal colonialism) dan perbudakan terselubunh terhadap Papua.
Ketiga, kami, Gereja Papua mengakui dosa kami telah lama membisu terhadap unsur unsur demonic (jahat) dan destruktif dari pembangunan terhadap Orang Asli Papua yang menurut pengamat Jakarta adalah merupakan bentuk penjajahan internal dan perbudakan terselubung. Sehingga Gereja Papua telah keliru mengartikulasikan isi firman Tuhan, “pemerintah adalah wakil Allah di dunia yang harus dijunjung tinggi”, membuat Gereja lumpuh dan tak dapat memainkan peran kenabiannya.
Keempat, menjawab berbagai tantangan yang dihadapi umat Tuhan di Tanah Papua, kami Gereja Gereja bertekad kembali ke akarnya, kembali ke habitatnya, yakni Alkitab dan Sejarah Gereja.
“Kami bertekat melihat sejarah umat yang menderita sebagai tanda tanda jaman (Matius 16: 3b) dan tantangan teologis dan misiologi. Ini berarti Tuhan telah mengirim Gereja Gereja di Papua ke tengah umat yang tengah menjalani sejarah kelam itu,” katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, Gereja Gereja di Papua harus senantiasa bertanya dan berdialog dengan Tuhan.
Kelima, konsekuensinya, sikap Gereja Gereja di Papua selama ini dalam menyuarakan luka batin umat Tuhan di Tanah Papua adalah merupakan bagian integral dan panggilan sejati Gereja dalam mewartakan firman Tuhan Allah yang mengutus kami. Alkitab dan sejarah Gereja adalah pijakan kami dalamj bertindak. Dalam misi ini, Gereja bertugas mengembalakan umat Allah, menjaga gambar dan rupa Allah agar tak boleh diperlakukan dengan sewenang wenang (Yoh. 10:11;21:12, 16, 19). Sebagai gembala, kami patut mendengarkan suara domba domba (jemaat) kami dalam semangat inilah kami mengangkat suara kami karena “Perahu kehidupan kami sedang tenggelam, lilin kehidupan umat kami sedang dipadamkan atas nama pembangunan, integritas teritorial, demi keutuhan negara”.
Keenam, terkait kebijakan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah terkini, dengan ini kami nyatakan : (a) bahwa pemerintah Indonesia telah gagal membangun Orang Asli Papua bertolak dari Otsus. Oleh karena itu, kami seruhkan agar pemerintah segera menghentikan seluruh proses pemilihan MRP jilid kedua yang sedang berlangsung dan menjawab musyawarah MRP; (b) sebagai solusinya kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak yang netral; (c) kami juga prihatin dengan prilaku pejabat asli Papua yang tak berpihak terhadap hak hak rakyatnya sendiri.
Ketujuh, kami menghimbau umat Tuhan di Tanah Papua untuk bangkit, kerjakan keselamatanmu, nyatakan kebenaranmu di hadapan penguasa negara yang lalim, yang sedang melakukan penjajahan internal (internal colonialism), pembasmian etnis (genocide) dan perbudakan terselubung (disquised slavery) atas bangsamu.
Kedelapan, kepada saudara saudari umat Tuhan di Tanah Papua, di Indonesia dan dimana saja, berdoalah bagi kami dalam solidaritas, agar kami menjadi teguh di dalam menghargai tantangan jaman Papua masa kini yang penuh dengan penderitaan dan air mata.