By: Naftali Edoway
Sejak tahun 2000 keatas terlihat banyak orang Papua mengenyam dan menamatkan pendidikan pada berbagai perguruan tinggi di Papua, luar Papua bahkan sampai ke luar negeri. Ada yang berpendidikan dengan biaya sendiri, orang tua dan keluarga tapi juga beasiswa dari lembaga pemerintah dan swasta. Harapan dari keluarga dan lembaga yang membiayai mereka adalah agar mereka menjadi intelektual yang produktif sehingga bisa membantu lembaga tapi juga meringankan beban orang tua.
Intelektual yang produktif adalah intelektual yang tidak cengeng, tidak selalu menunggu di ruang tunggu, tidak terus menunggu tes pegawai negeri tapi mereka yang mampu berkreativitas menciptakan sesuatu yang baru dan berguna bagi dirinya serta orang lain disekitarnya. Mengapa intelektual Papua harus produktif? Karena Papua menyimpan sejuta peluang. Orang Papua punya tanah sebagai modal utama tapi juga sesama orang papua lain yang bisa bekerja sama dan saling tolong menolong. Kebersamaan dalam mengolah modal tanah dan ilmu akan sangat bermanfaat bagi rakyat kecil yang selalu berusaha keluar dari kubangan penderitaan dan kemiskinan. Jika itu dilakukan kaum inteletual Papua tidak akan disebut lagi kaum “beban masyarakat”, justru kita akan disebut sebagai “penyelamat”.
Penyelamat yang dimaksudkan disini adalah mereka yang mampu memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan rakyat. Mereka yang bisa memberikan solusi atas masalah yang digumuli rakyat. Mereka yang mampu menemukan penawar/obat yang cocok bagi masyarakat yang sedang sakit. Mereka yang mampu menghibur masyarakat yang sedang berduka dan menderita, dll. Intinya, intelektual yang lahir dari rakyat harus benar-benar mengabdikan diri untuk rakyat.
Pengabdian diri kepada masyarakat dapat dilakukan dari tempat dimana kita berada saat ini. Para intelek yang bergabung dalam dunia pemerintahan, bisa mengabdi untuk rakyat dari sana, demikian pula bagi mereka yang memilih jalur swasta (Agama, LSM, dll). Fakta dilapangan dewasa ini menunjukan bahwa peran kaum intelektual di jalur swasta lebih banyak dan dominan dibandingkan intelektual yang bergerak dari dunia pemerintahan. Hal itu kemudian berpengaruh kepada tingkat kepercayaan rakyat. Hari ini intelektual Papua yang bergerak dalam bidang Agama, LSM, faksi-faksi sosial, dst sangat dipercaya rakyat Papua dari pada intelektual yang lainnya. Wajar saja penilaian rakyat itu, sebab para inteletual Papua yang berkarya di bidang pemerintahan tak mampu menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi rakyat Papua, walaupun mereka menduduki jabatan-jabatan strategis disana. Mereka hanya bisa membuka mulut besar-besar melalui media-media namun tindakannya nol. Mereka hanya bisa bilang mulut kami ini SK, seperti yang pernah diungkapkan Gubernur Papua beberapa waktu lalu didepan mama Papua yang menuntut pasar khusus bagi mereka di jantung kota Jayapura. Alasan yang lazim diungkapkan kelompok ini untuk mengambil kepercayaan rakyat tapi juga untuk menghindar dari tanggungjawab adalah “kami ada dalam sisitem dan sistem itu yang atur kami, jadi kami susah untuk bergerak”.
Pada saat tertentu, kita bisa menerima dan memaklumi alasan mereka diatas, namun saat tertentu juga mereka harus tunjukan bahwa mereka benar-benar mau mengabdi untuk kepentingan rakyat. Untuk beberapa waktu terakhir ini saya salut dengan abang Ruben Magai, S.IP dan kawan-kawannya di DPRP yang benar-benar menunjukan identitas diri mereka sebagai wakil rakyat. Sejarah baru yang mereka ukir di NKRI adalah mereka bisa memimpin mahasiswa se-Jawa-Bali melakukan demonstrasi di depan kantor Mendagri di Jakarta. Mereka tidak hanya menjadi penyalur aspirasi rakyat tapi juga memprotes sistem tidak benar yang dilaksanakan di NKRI. Walaupun mungkin beberapa orang menilai mereka sebagai wakil rakyat yang gila, stress, cari perhatian, atau perusak kredibilitas diri sebagai dewan yang terhormat. Pertanyaannya, mampukah mereka di eksekutif melakukan hal yang sama atau membuat sejarah baru yang lain untuk kepentingan rakyat? Kita bersama menunggu jawaban atas pertanyaan ini.
Berhubungan dengan peran intelektual dilapangan saya setuju dengan apa yang dikatakan Edward W. Said dalam bukunya yang berjudul “Peran Intelektual” bahwa, peran seorang intelektual adalah mengatakan sesuatu yang dianggap benar enta itu sesuai atau tidak dengan penguasa. Seorang intelektual sebaiknya menjadi oposisi ketimbang akomodasi. Karena dosa paling besar seorang inteletual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindar (membisu). Lanjutnya, tidak ada “dewa” yang harus senantiasa dipuja dan diminta petunjuk. Kalau salah harus dibilang salah. Siapa pun dia. Artinya, siapa pun di dunia ini entah dari kalangan apapun pantas untuk dikritik dan dicela, jika salah.
Kaum intelektual Papua dalam siatuasi Papua seperti sekarang ini, ada baiknya jika kita mengikuti nasehat-nasehat dari tuan Said diatas. Saya pikir kita tidak usah lagi melawan nurani kita. Kita harus buka belenggu kemunafikan kita dan menetapkan posisi kita dengan tegas. Kita harus tunjukan bahwa kita punya kebebasan untuk berpendapat dan berkreasi. Walaupun mungkin atasan kita atau mereka yang berseberangan ideologi dengan kita tidak setuju. Kita harus tunjukan bahwa kita benar-benar datang dari rakyat dan mau hidup dan berkarya bagi mereka.
Penguasa atau pemimpin kita itu adalah wakil Tuhan. Tapi mereka bukan Tuhan yang aturanNya “ya dan amin” sehingga harus selalu di patuhi. Pada waktu tertentu oleh ego dan kepentingan, mereka dapat melakukan sesuatu yang merugikan orang banyak. Saat itulah kaum intelektual tampil untuk memberikan koreksi, bukan mendukung ego dan kepentingan mereka itu.
Mari kita banyak belajar dari tokoh-tokoh seperti; Musa, Yusuf, Daniel, Yeremia, Habakuk, Kristus, Mahatma Gandi, Marthen Luther King Jr, Edward Said, Dom Helder Camara, Desmond Mpilo Tutu, George Aditjondro, Pdt. Benny Giay, dan Dumma Socrates Sofyan Yoman, dll. Membaca kisah hidup dan karya-karya mereka sungguh memberikan ispirasi dan semangat untuk terus eksis berkarya memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Walau jarang turun kelapangan, namun apa yang saya punya bisa saya transfer ke kawan-kawan senasib seperjuangan di kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar