Hasil penelitian dari Universitas Yale Amerika Serikat dan para peneliti di Australia telah menyimpulkan bahwa di Papua Barat sedang terjadi GENOSIDA (pembantaian etnis Papua), aktornya adalah TNI dan POLRI. Yang dapat menjadi bukti adalah pada tahun 1969 penduduk asli Papua Barat berjumlah ± 8.000 jiwa dan PNG ± 6000 jiwa. Setelah rakyat Papua Barat bersama NKRI (45 tahun) penduduk asli Papua Barat ± 1,5 juta jiwa sementara penduduk asli PNG berjumlah ± 7,5 juta jiwa. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa antara tahun 1961-1969 Indonesia membantai orang asli Papua Barat ±10.000 jiwa.
Pembantai terhadap rakyat Papua Barat telah menjadi sebuah tradisi dan menjadi sebuah agenda terselubung pemerintah Indonesia. Ada dua pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, yaitu pembantaian terang-terangan (operasi militer, dll) dan pembantaian terselubung/slow motions genosaid (melalui penculikan, pembunuhan, peracunan lewat makanan-minuman, mendatangkan WTS yang mengidap penyakit menular, penularan penyakit HIV/AIDS melalui praktek prostitusi, jarum suntik, tato, minuman keras,dll). Akibatnya populasi orang asli Papua semakin menurun.
Menurunnya jumlah orang asli Papua pun di akui oleh Gubernur Propinsi Papua, Barnabas Suebu SH, saat memberikan sambutan tertulisnya dalam acara Pelantikan Bupati Merauke pada 8 Januari 2011. Menurutnya ”Orang asli Papua akan terus menurun jumlahnya sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang tinggi, khususnya migrasi masuk. Oleh karena itu pemekaran wilayah tidak boleh membuat orang asli Papua menjadi tersisih bahkan tercabut dari tanah leluhurnya sendiri”[1].
Sementara itu laporan hasil sensus penduduk dari Propinsi Papua Barat tahun 2010 melaporkan bahwa jumlah Orang Asli Papua di propinsi itu berjumlah 51,67% dari total 760.000 jumlah penduduk Papua Barat. Itu artinya bahwa jumlah penduduk asli Papua dan non Papua adalah fifty-fifty. Tanda Sirait Kepala BPS Propinsi Papua Barat mengatakan bahwa BPS memakai enam kriteria dalam mendata jumlah orang asli Papua. Pertama, ayah dan ibu orang asli Papua. Kedua, ayah orang asli Papua ibu bukan. Ketiga, ibu orang asli Papua ayah bukan. Keempat, orang nonetnis Papua yang secara adat diakui masyarakat Papua sebagai orang asli Papua. Kelima, orang nonetnis Papua yang diangkat atau diakui secara marga dan keret. Keenam, orang yang berdomisili terus menerus di Papua selama lebih dari 35 tahun[2].
Terakhir melalui buku karangan Jim Elmslie yang berjudul “West Papuan Demographic Transition and the 2010 Indonesian Census: “Slow Motion Genocide” or not?” yang diterbitkan oleh University of Sydney, Centre for Peace and Conflict Studies menyebutkan bahwa jumlah orang asli Papua di Propinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641.
Dalam buku itu dilaporkan bahwa jumlah orang asli Papua pada tahun 1971 sebanyak 887,000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 1.505.405. Artinya pertumbuhan penduduk pertahunnya 1,84%. Sementara itu jumlah penduduk non Papua tahun 1971 sebanyak 36.000 dan tahun 2000 meningkat menjadi 708,425. Jadi presentase pertumbuhan penduduk non asli Papua pertahunnya 10.82%.
Hingga pertengahan tahun 2010 jumlah orang asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89% sementara non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Diakhir tahun 2010 jumlahnya menjadi: a) Populasi orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. b) Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Jadi jumlah keseluruhan penduduk Papua hingga tahun 2010 sebanyak 3,612,854 atau 100%.
Jim Elmslie memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan akan mencapai 7,287,463 atau 100% dengan pembagian: jumlah orang asli Papua 2, 112,681 atau 28.99% dan jumlah non Papua 5,174,782 atau 71.01%. Itu mengindikasikan bahwa pertumbuhan jumlah orang asli Papua lambat dibandingkan non Papua. Apa penyebabnya? Jim sendiri mengatakan bahwa selain masalah sosial dan pelanggaran HAM penyebab utamanya adalah migrasi penduduk dari luar Papua yang terlalu besar[3].
Walaupun ada fakta pengakuan dan penelitian diatas namun Kepala BPS Propinsi Papua Ir.J.A.Djarot Soetanto, MM membatahkan akan hal itu. Beliau mengatakan bahwa isu soal adanya genosaid atau pembasmian orang asli Papua secara terencana adalah tidak benar. Lanjutnya, presentase perbandingan jumlah orang asli Papua dan non Papua masih di dominasi oleh orang asli Papua. Jumlah penduduk Papua hasil sensus 2010 menunjukan 2.833.381 dimana orang asli Papua sebanyak 76% dan pendatang 24%.[4]
Menurut keyakinan saya, jika orang asli Papua diperhadapkan pada pilihan, fakta mana yang mau diterima? maka pastilah mereka setujuh dengan pernyataan gubenur Papua, laporan BPS propinsi Papua Barat dan hasil analis oleh Jim Elmslie. Mengapa? 1) Orang asli Papua sudah terlanjur tidak percaya dengan pemerintahan di Papua yang lebih condong bekerja untuk kepentingan Pemerintah pusat. 2) Fakta dilapangan bahwa kematian orang asli Papua dari bayi sampai dewasa semakin tinggi di Papua setiap harinya. 3) Hampir setiap minggu orang asli Papua melihat banyak orang non Papua yang datang ke Papua melalui kapal laut dan pesawat terbang. 4) Sejarah integarasi Papua ke NKRI yang dinilai tidak adil oleh orang asli Papua. 5) Perhatian kepada kesejaterahan hidup orang asli Papua diabaikan selama ini, sehingga orang asli Papua tidak pernah bebas dari lilitan kemiskinan.
Jika fakta hidup orang asli Papua seperti itu, kira-kira solusinya apa? Apakah otsus dan pemekaran bisa menjawab permasalahan itu? Apakah UP4B adalah obat untuk menyembuhkan penyakit diatas? Apakah dialog Papua-Jakarta yang dimediasi pihak ketiga adalah solusi? Saya sendiri berpikir bahwa orang asli Papua harus sadar bahwa kita ada dalam masalah besar. Kita ada pada situasi antara, hidup dan mati. Kita ada pada situasi yang terjepit. Kita harus merubah paradigma berpikir kita yang “kekinian”. Merasa puas dengan situasi yang ada hari ini. Mengganti sikap ego kita dengan sikap solidaritas. Kita harus keluar dari kotak primodialisme dan devide et impera yang diciptakan oleh orang lain guna menghancurkan “ke-Papua-an” kita. Sekali lagi kita harus sadar. Bangkit. Buka mata. Tidak terlena dalam kehancuran ini. Janganlah kita selalu menerima keadaan yang rusak ini sebagai “sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan”.
Marilah kita bekerja keras memperjuangkan masa depan kita. Masa depan anak cucu kita. Kitalah yang menentukan kapan dunia baru itu akan terwujud; atau kapan dunia baru itu akan dimulai[5]. Dengan bermasa bodoh kita dan dunia kita tidak akan berubah. Kita harus melepaskan juba tim sukses terhadap penderitaan kita sendiri dan mengganti juba baru, yakni juba siap juang bagi kebaikan masa depan. Kita semua punya talenta/karunia. Kelebihan-kelebihan yang Tuhan taruh dalam diri kita. Mari manfaatkan itu untuk maju selangka demi selangka. Marilah kita menjadi lilin-lilin kecil yang menerangi diri dan lingkungan disekitar kita. Minum dari sumur sendiri akan membuat kita tetap hidup dan sukses di tanah karunia Tuhan ini. Semoga!
Naftali Edoway ( Departemen Perdamaian dan Keadilan Kingmi Papua)
[1] Papua Pos, 11 Januari 2011
[2] Kompas.com, selasa 11 Januari 2011
[3] http://sydney.edu.au/arts/peace conflict/docs/working papers/West Papua Demographics in 2010 Census.pdf
[4] Cenderawasih Pos, Rabu 02 Maret 2011
[5] Pdt.Benny Giay, Mari Memperjuangkan Pemulihan Negeri Ini. Deiyai.2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar